Dampak Putusan MK 135: Mampukah Kebijakan Pusat dan Daerah Tetap ‘Satu Frekuensi’?

- Penulis

Senin, 28 Juli 2025 - 11:06 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, pagi itu, duduk di depan layar Zoom, berbicara dengan nada tenang tapi serius. Tema diskusinya: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD.

Tapi yang dipertaruhkan jauh lebih besar dari sekadar jadwal pencoblosan. Ini soal masa depan kebijakan publik yang bisa kembali “nge-lag” antara pusat dan daerah.

Ini karena, dalam bayangan Bima Arya, setelah Pemilu Serentak 2024, pemerintah seperti menemukan “golden moment” dalam sinkronisasi kebijakan.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pemimpin di pusat dan daerah memulai masa jabatan secara bersamaan.

Hasilnya? Proses penyusunan APBD terasa seperti main orkestra—semuanya seirama. “Kita bangga bareng-bareng mulai. Susun APBD lebih gampang, target bisa selaras,” ujar Bima.

Dan bukan cuma retorika. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan efisiensi logistik pemilu serentak mencapai penghematan Rp 2,5 triliun.

Sementara itu, program prioritas nasional seperti transformasi digital bisa langsung di-match dengan kebijakan daerah. Menurut BPS, sinkronisasi ini menyumbang peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 1,2% lebih tinggi dibanding yang tidak sinkron.

Bima menyebut momen ini sebagai “ikhtiar baru dengan dimensi keserentakan.” Bahkan ada retret kepala daerah lintas wilayah demi menyatukan langkah. Tapi, ikhtiar ini kini berada di ujung tanduk.

 

Saat Puzzle Kebijakan Terancam Retak

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahan pemilu nasional dan daerah, ibarat mencabut satu bagian vital dari mesin yang baru saja sinkron.

“Kalau dipisah, bisa terjadi inkompatibilitas. Ada yang nggak nyambung antara lokal dan nasional,” ujar Bima.

Seperti biasa, setiap keputusan politik pasti ada yang riang gembira dan yang berduka cita. Para anggota DPRD boleh bersorak: masa jabatan mereka berpotensi diperpanjang hingga 2,5 tahun pasca pelantikan nasional.

Baca Juga:  Koperasi Desa Merah Putih: Langkah Strategis Prabowo Bangun ekonomi Rakyat dari Akar Desa

Tapi di sisi lain, kepala daerah dari kubu oposisi mulai khawatir: perpanjangan jabatan justru memperkuat petahana dan menyulitkan regenerasi kepemimpinan.

Namun Bima mengingatkan, jangan terjebak dalam euforia atau luka pribadi. “Kita tarik ke konteks yang lebih besar: integrasi nasional. Ini bukan soal siapa untung dan rugi, tapi bagaimana kebijakan tetap nyambung,” katanya.

Baginya, sistem pemilu boleh berubah, tapi jangan sampai kebijakan jadi korban ketidaksinkronan.

 

Menjembatani Ketidaksinkronan

Data Kemendagri 2024 mencatat, 42% daerah masih mengalami konflik kebijakan dengan pusat. Mayoritas konflik terjadi dalam program dana desa dan proyek strategis nasional. Potensi pemisahan pemilu bisa membuat angka ini naik.

Solusinya? Bima menyarankan penguatan forum komunikasi seperti APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota) dan APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten). Forum ini bisa jadi “jembatan” antara pusat dan daerah agar nggak saling lempar tanggung jawab.

Juga perlu pendekatan teknokratik: pedoman sinkronisasi dari Bappenas perlu diperkuat. Jadi, walau pemilu dipisah, arah pembangunan tetap bisa satu garis.

 

Sinkronisasi Bukan Sekadar Tanggal, Tapi Nilai

Putusan MK sudah di tangan, dan itu bagian dari dinamika demokrasi. Tapi ujian sebenarnya justru datang sekarang: mampukah Indonesia menjaga arah pembangunan tetap satu haluan meski pemilu beda siklus?

Dalam lanskap politik yang makin terfragmentasi, sinkronisasi pusat-daerah bukan sekadar koordinasi dokumen. Ia adalah ujian kebangsaan. Jika tak dikelola, kita bukan hanya kehilangan efisiensi, tapi juga kehilangan arah.

Seperti kata Bima Arya, “Mengelola perbedaan bukan perkara mudah. Tapi sistem politik harus memperkokoh integrasi bangsa.”

Dan dalam konteks itu, sinkronisasi bukan soal teknis, tapi komitmen untuk tetap ‘satu frekuensi’, demi Indonesia yang utuh dan terarah.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

Berita Terbaru