Bus Biru, Harapan Baru: Kebijakan Pramono Anung dan Revolusi Transportasi Jakarta

- Penulis

Sabtu, 26 Juli 2025 - 06:00 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Djourno.id—Di tengah riuhnya Jakarta yang tak pernah sepi, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berdiri di halte TransJakarta Sarinah, Jakarta Pusat, pada Jumat sore, 25 Juli 2025. Dengan senyum tipis, ia menjawab pujian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka atas kebijakan transportasinya dengan sederhana: “Matur nuwun, terima kasih Mas Wapres.”

Ucapan singkat itu bukan sekadar basa-basi. Di baliknya, ada ambisi besar untuk menjinakkan dua musuh abadi ibu kota: kemacetan dan polusi udara. Dengan armada bus listrik TransJakarta yang terus bertambah, tarif gratis untuk 15 golongan masyarakat, dan kewajiban Aparatur Sipil Negara (ASN) naik transportasi umum setiap Rabu, Pramono tampaknya sedang menulis babak baru dalam sejarah mobilitas Jakarta.

Pujian Gibran, yang disampaikan di acara Green Impact Festival 2025 di Djakarta Theatre sehari sebelumnya, bukan tanpa alasan. “Ini saya juga mengapresiasi Pak Gubernur Jakarta. Sekarang beliau sedang menambah armada untuk TransJakarta listrik. Ada 500 bus baru di akhir 2025,” kata Gibran, menyoroti rencana ambisius Pemprov DKI untuk memperkuat armada bus listrik.

Ia juga memuji kebijakan tarif gratis untuk 15 golongan—dari pensiunan PNS hingga penyandang disabilitas—dan kewajiban ASN menggunakan TransJakarta setiap Rabu.

“Langkah ini patut dicontoh kota-kota lain,” tambahnya.

Di tengah Jakarta yang kerap masuk daftar kota paling macet dan tercemar di dunia, kebijakan Pramono menawarkan secercah harapan: transportasi publik yang lebih hijau, inklusif, dan terjangkau.

 

Bus Listrik: Melaju Menuju Udara yang Lebih Bersih

Kebijakan Pramono untuk menambah 500 bus listrik TransJakarta hingga akhir 2025 adalah bagian dari target besar: mengganti seluruh armada 10.000 bus menjadi listrik pada 2030, sesuai komitmen yang didukung UNEP dan ITDP.

Hingga Desember 2024, TransJakarta telah mengoperasikan 300 bus listrik, termasuk 200 unit baru dari Skywell, Zhongtong, Golden Dragon, dan BYD. Bus-bus ini bukan sekadar alat transportasi, tetapi simbol perjuangan melawan polusi udara yang telah menempatkan Jakarta sebagai kota paling tercemar di dunia pada 2023, dengan AQI mencapai 116,7 µg/m³—23 kali di atas batas aman WHO.

Data dari TransJakarta menunjukkan bahwa bus listrik mampu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50,3% dibandingkan bus diesel, dengan potensi penghematan biaya operasional 5–10%.

“Bus listrik setara dengan menanam 1,5 juta pohon atau mendaur ulang 32 ribu ton sampah,” kata Welfizon Yuza, Direktur Utama TransJakarta, dalam peluncuran armada baru di Monas, Desember 2024.

Namun, tantangan masih besar. Dengan hanya 4% dari 45 juta perjalanan harian di Jakarta menggunakan transportasi umum, Pemprov DKI harus menarik lebih banyak pengguna kendaraan pribadi. Infrastruktur pengisian daya yang masih terbatas dan biaya awal pengadaan bus listrik yang tinggi—meski lebih hemat dalam jangka panjang—juga menjadi hambatan.

 

Tarif Gratis: Inklusivitas atau Beban Anggaran?

Kebijakan tarif gratis untuk 15 golongan masyarakat, mulai dari siswa penerima KJP Plus hingga lansia di atas 60 tahun, adalah langkah berani Pramono untuk memperluas akses transportasi publik.

Gibran menyebutnya sebagai model yang bisa ditiru daerah lain, tetapi di balik pujian itu ada pertanyaan: seberapa berkelanjutan kebijakan ini?

Dengan 1,4 juta penumpang harian TransJakarta pada April 2025—naik dari 1,2 juta setelah kebijakan ASN wajib naik transportasi umum diberlakukan—anggaran subsidi transportasi DKI membengkak.

Baca Juga:  Kebijakan Kontroversial Dedi Mulyadi: Ketika Konten Mengalahkan Kajian

Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 133 Tahun 2018, tarif Rp3.500 per penumpang sudah disubsidi, dan kini golongan tertentu mendapatkan layanan gratis sepenuhnya.

Kebijakan ini menuai pujian dari kelompok rentan. “Saya bisa hemat Rp7.000 sehari untuk ke dokter,” ujar Siti, lansia dari Cengkareng, yang menggunakan TransJakarta gratis.

Namun, ekonom dari Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, memperingatkan potensi ketidakseimbangan fiskal. “Subsidi harus diimbangi dengan efisiensi operasional dan peningkatan pendapatan daerah,” katanya.

Pada 2024, APBD DKI mengalokasikan Rp4,8 triliun untuk subsidi transportasi publik, dan proyeksi 2025 menunjukkan kenaikan hingga Rp6 triliun dengan adanya armada baru dan tarif gratis. Meski begitu, Pramono yakin kebijakan ini akan meningkatkan konektivitas dan produktivitas warga, terutama di wilayah marginal seperti Kepulauan Seribu.

 

ASN di Bus Rabu: Gaya Hidup Baru atau Sekadar Aturan?

Kebijakan yang paling mencuri perhatian adalah kewajiban ASN, termasuk gubernur sendiri, naik TransJakarta setiap Rabu, yang diatur dalam Instruksi Gubernur Nomor 6 Tahun 2025.

Langkah ini, yang dimulai Mei 2025, berhasil meningkatkan jumlah penumpang TransJakarta hingga 1,4 juta pada hari pertama pemberlakuan, menurut Jakarta Globe. Pramono sendiri terlihat naik bus dari Taman Suropati ke Balai Kota, mengunggah selfie sebagai bukti kepatuhan.

“Ini bukan sekadar perintah, tetapi gaya hidup baru,” katanya, dikutip Tempo. Gibran memuji inisiatif ini sebagai langkah menekan kemacetan dan polusi, dengan Jakarta kini berada di peringkat 90 dunia untuk kemacetan, jauh lebih baik dari New York.

Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Netizen di platform X mengeluhkan kurangnya pertimbangan untuk ASN yang tinggal di pinggiran Jakarta, seperti Bekasi atau Bogor, di mana konektivitas transportasi umum masih terbatas.

“Bagus sih, tapi kalau bus penuh dan harus berdesakan, apa iya produktif?” tulis seorang pengguna X.

Pramono menjawab dengan janji memperluas konektivitas transportasi hingga 91% di wilayah metropolitan dan menawarkan layanan gratis untuk ASN. Integrasi dengan MRT, LRT, KRL, dan TransJabodetabek, yang disebut Pramono sebagai kunci sukses, memang telah menunjukkan hasil: waktu tempuh rata-rata di Jakarta turun 12% sejak 2023, menurut Global Traffic Scorecard 2024

 

Harapan dan Tantangan

Di balik pujian Gibran dan senyum Pramono, ada tantangan besar yang menanti. Jakarta masih bergulat dengan ketimpangan akses transportasi, terutama di wilayah pinggiran.

Armada bus listrik yang bertambah memang menjanjikan udara lebih bersih, tetapi tanpa perluasan infrastruktur pengisian daya dan perawatan baterai yang berkelanjutan, target 2030 bisa meleset.

Kebijakan tarif gratis dan kewajiban ASN naik transportasi umum menunjukkan komitmen inklusivitas, tetapi tanpa pengelolaan anggaran yang cermat, DKI bisa terjebak dalam defisit.

Saat senja menyelimuti halte Sarinah, bus TransJakarta berwarna biru-putih melaju membelah kemacetan. Di dalamnya, ada lansia, pelajar, dan ASN yang berbagi ruang, mungkin tanpa menyadari bahwa mereka adalah bagian dari eksperimen besar Pramono.

Jakarta, dengan segala kekacauan dan ambisinya, sedang bergerak—perlahan, tetapi pasti. Pertanyaannya, akankah kebijakan ini menjadi warisan abadi atau sekadar angin lalu di kota yang tak pernah tidur?

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh
Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil
Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?
Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?
Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi
Hadapi Gelombang Kemiskinan Baru, Bagaimana Formula Kebijakan Jakarta?
Kebijakan Berbasis Desa: Lampung Wujudkan Penurunan Kemiskinan
Pagi Terlalu Dini, Malam Terlalu Ketat: Mengapa Kebijakan Dedi Mulyadi Memicu Badai Protes?

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 18:38 WIB

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh

Senin, 4 Agustus 2025 - 16:13 WIB

Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil

Minggu, 3 Agustus 2025 - 14:54 WIB

Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 09:52 WIB

Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?

Jumat, 1 Agustus 2025 - 15:54 WIB

Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi

Berita Terbaru