Beras, Manipulasi, dan Kebijakan: Presiden Prabowo Melawan Mafia Pasar

- Penulis

Sabtu, 26 Juli 2025 - 10:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Djourno.id—Bayangkan Anda membeli beras dengan label “premium” di pasar, membayar mahal demi kualitas terbaik untuk keluarga. Namun, saat dimasak, nasi itu tak seenak yang dijanjikan—bercampur butir pecah, berbau apek, atau bahkan tak layak konsumsi.

Ternyata, beras yang Anda beli bukan premium, melainkan hasil oplosan yang sengaja dikemas ulang untuk mengelabui konsumen. Praktik curang seperti ini bukan lagi rahasia di pasar beras Indonesia, dan pemerintah kini bergerak cepat untuk menghentikannya.

Dengan langkah tegas, Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas pada Jumat (25/7/2025), menandakan perhatian serius terhadap distribusi beras yang merugikan rakyat.

Apa yang sebenarnya terjadi di balik krisis ini, dan bagaimana kebijakan baru pemerintah bisa mengubah nasib jutaan konsumen?

 

Krisis Beras: Praktik Curang yang Merugikan

Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan bahwa Indonesia mengonsumsi sekitar 31 juta ton beras setiap tahun, menjadikan komoditas ini tulang punggung ketahanan pangan nasional.

Namun, di balik angka itu, praktik penyelewengan distribusi beras terus menggerogoti kepercayaan publik.

Laporan terbaru mengungkap kasus pengoplosan beras, di mana beras berkualitas rendah dicampur dengan beras premium, dikemas ulang, dan dijual dengan harga tinggi.

“Tindakan ini tidak manusiawi, kurang beradab,” tegas Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi dalam wawancara dengan media di Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Ia menegaskan bahwa Presiden Prabowo secara rutin menerima laporan tentang praktik curang ini dari kementerian terkait.

Salah satu pemicu masalah adalah pelanggaran Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.

Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 7 Tahun 2023, HET beras medium di wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan ditetapkan Rp10.900 per kg, sementara beras premium Rp13.900 per kg. Namun, banyak pelaku usaha yang sengaja mengabaikan aturan ini.

“Mereka mengoplos beras, mengganti kemasan, dan menjualnya di atas HET untuk meraup keuntungan lebih besar,” ujar Prasetyo.

Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa sepanjang 2024, sedikitnya 120 kasus pelanggaran HET dan pengoplosan beras dilaporkan di berbagai daerah, dengan kerugian konsumen diperkirakan mencapai miliaran rupiah.

 

Langkah Pemerintah: Dari Ratas hingga Kebijakan Baru

Presiden Prabowo menunjukkan komitmen kuat untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam rapat terbatas yang diadakan pekan ini, ia mengumpulkan para menteri untuk merumuskan solusi komprehensif.

Salah satu wacana yang mencuri perhatian adalah usulan penghapusan klasifikasi beras premium dan medium.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa langkah ini bertujuan meminimalkan celah pengoplosan. “Jika tidak ada lagi kategori premium dan medium, pelaku usaha tidak bisa lagi memanipulasi kualitas untuk menaikkan harga,” ujarnya dalam pernyataan yang dikutip Prasetyo.

Selain itu, pemerintah tengah mempertimbangkan untuk menyerahkan proses penggilingan padi sepenuhnya kepada Perum Bulog.

Langkah ini diharapkan dapat mengontrol kualitas beras yang beredar di pasaran sekaligus memastikan harga yang wajar bagi petani dan konsumen.

“Kami sedang merumuskan formula terbaik agar konsumen mendapat haknya secara adil,” kata Prasetyo. Ia juga menyinggung keberhasilan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah, yang kini stabil di atas Rp6.000 per kg untuk gabah kering panen.

Baca Juga:  God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa sejak penerapan HPP baru pada 2024, harga gabah di tingkat petani meningkat 12% dibandingkan tahun sebelumnya, memberikan dampak positif bagi lebih dari 10 juta petani padi di Indonesia.

 

Tantangan di Lapangan: Mengapa Masalah Berulang?

Meski langkah pemerintah terlihat menjanjikan, tantangan di lapangan tidak sederhana. Pengawasan terhadap pelaku usaha masih lemah, terutama di pasar tradisional yang menjadi pusat distribusi beras.

Menurut laporan Satgas Pangan Polri, dari 500 pasar yang dipantau pada 2024, 60% di antaranya masih menunjukkan indikasi pelanggaran HET dan pengoplosan.

“Kami butuh sinergi yang lebih kuat antara pemerintah pusat, daerah, dan aparat penegak hukum,” ujar Direktur Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, dalam wawancara terpisah. Ia menambahkan bahwa rendahnya literasi konsumen tentang kualitas beras juga menjadi celah bagi oknum pengoplos.

Selain itu, struktur pasar beras yang kompleks, melibatkan petani, penggilingan, pedagang, hingga distributor, menyulitkan pengendalian.

“Bulog hanya menguasai 10-15% pasokan beras nasional. Sisanya dikuasai swasta, yang sering kali tidak terikat aturan ketat,” jelas Teguh.

Data Bapanas menunjukkan bahwa dari total produksi beras nasional (sekitar 34 juta ton pada 2024), hanya 4 juta ton yang dikelola Bulog, sementara sisanya mengalir melalui rantai pasok swasta yang sulit diawasi.

 

Harapan dan Langkah ke Depan

Kebijakan baru yang sedang dirumuskan pemerintah diharapkan menjadi titik balik. Penghapusan klasifikasi beras, jika direalisasikan, bisa menyederhanakan pengawasan dan mengurangi manipulasi harga.

Namun, para ahli menekankan pentingnya edukasi konsumen dan penguatan infrastruktur pengawasan. “Konsumen harus tahu cara membedakan beras berkualitas. Pemerintah juga perlu melibatkan teknologi, seperti pelabelan digital atau sertifikasi beras, untuk meminimalkan penipuan,” saran Teguh.

Di sisi lain, petani berharap kebijakan ini tidak hanya berfokus pada konsumen, tetapi juga memperkuat posisi mereka di rantai pasok. “HPP sudah membantu, tapi kami butuh jaminan pasar yang lebih luas dari Bulog,” ujar Suryo, seorang petani padi di Karawang, Jawa Barat. Ia mengeluhkan bahwa banyak petani masih terpaksa menjual gabah ke tengkulak dengan harga di bawah HPP karena keterbatasan akses ke Bulog.

Langkah pemerintah kali ini menunjukkan tekad untuk mengatasi pengoplosan beras yang telah lama merugikan konsumen dan petani. Dengan wacana penghapusan klasifikasi beras dan penguatan peran Bulog, Indonesia berpeluang menciptakan sistem distribusi pangan yang lebih adil dan transparan.

Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada eksekusi yang ketat, pengawasan yang kuat, dan keterlibatan semua pihak—dari petani hingga konsumen. Di tengah tantangan ketahanan pangan, pertanyaan besar tetap menggantung: akankah kebijakan ini cukup untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada sepiring nasi di meja makan mereka?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

Berita Terbaru