Rojali dan Tanggung Jawab Pembuat Kebijakan: Menjaga Dompet Rakyat

- Penulis

Jumat, 25 Juli 2025 - 14:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Djourno.id—Di tengah gemerlap mal-mal ibu kota, sebuah fenomena bernama Rojali—rombongan jarang beli—menyelinap di antara keramaian. Mereka datang, melihat, berfoto, namun dompet mereka tetap tertutup.

Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, melainkan sirene peringatan bagi pembuat kebijakan. Dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 25 Juli 2025, Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono, menegaskan bahwa Rojali adalah “sinyal penting” yang menuntut perhatian serius.

“Pembuat kebijakan tidak boleh hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga menjaga ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga, terutama kelas menengah bawah,” katanya, seolah menyentil para pengambil keputusan di gedung-gedung tinggi pemerintahan.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 mengungkapkan fakta mencolok: kelompok masyarakat 20% teratas, yang biasanya menjadi motor konsumsi, kini menahan belanja, menyumbang hanya 45,56% dari total pengeluaran nasional per Maret 2025, turun dari 46,24% pada September 2024.

Namun, Rojali bukan hanya tentang kelas atas. Ateng menyoroti tekanan ekonomi yang kian terasa di kelas menengah bawah dan rentan, yang kini memilih “ngadem” di mal ketimbang berbelanja.

Dengan pertumbuhan ekonomi melambat ke 4,87% pada kuartal I 2025 dan harga pangan naik 1,99% pada Juni 2025, sinyal ini menampar pembuat kebijakan: kebijakan yang hanya mengejar angka kemiskinan 9,36% (BPS, 2024) tidak cukup untuk menyelamatkan daya beli rakyat.

 

Peringatan untuk Pembuat Kebijakan

Rojali bukan sekadar cerita tentang mal yang sepi transaksi, tetapi tentang kegagalan kebijakan menjangkau akar masalah. Mohammad Nur Rianto Al Arif, ekonom dari UIN Syarif Hidayatullah, menyebut fenomena ini sebagai “ekspresi sosial dari daya beli yang melemah,” yang berdampak pada UMKM hingga ritel besar.

Penurunan omzet pedagang pasar tradisional hingga 30% dan kontraksi Indeks Penjualan Riil Bank Indonesia untuk pakaian dan elektronik menjadi bukti nyata. “Pemerintah harus berhenti berpikir jangka pendek,” tegas Al Arif.

Namun, anggaran perlindungan sosial 2025 yang hanya naik 2,1% dari tahun sebelumnya dan kontraksi konsumsi pemerintah sebesar 1,38% menunjukkan bahwa kebijakan belum sepenuhnya mendengar jeritan rakyat.

Ini peringatan serius buat para pembuat kebijakan, dari DPR hingga kementerian. Ketimpangan ekonomi, yang disebut Democracy Perceptions Index 2024 sebagai ancaman terbesar terhadap demokrasi, memperparah tekanan pada kelas menengah.

Cicilan rumah, biaya pendidikan yang naik 7% per tahun, dan nilai tukar rupiah di Rp16.575 per dolar AS memaksa keluarga seperti Budi, karyawan swasta di Jakarta, memilih hiburan gratis di mal ketimbang belanja.

“Kami ke mal cuma buat anak senang, beli apa-apa dipikir seribu kali,” ujarnya. Ateng menegaskan bahwa Rojali adalah panggilan untuk kebijakan yang lebih inklusif, seperti stabilisasi harga pangan dan perluasan bantuan sosial untuk 59,4% pekerja informal (BPS, Februari 2025).

Baca Juga:  Kebijakan yang Berhasil Membawa Ekonomi Indonesia Tumbuh di Atas 8%

 

Mal Sepi, Kebijakan yang Bisu 

Di Pasar Minggu, Tangerang, Rina, penjual baju, mengeluh: “Pengunjung ramai, tapi dompet mereka kosong.” Cerita serupa bergema di mal-mal modern, di mana kasir hanya sesekali memindai barcode.

Rojali mencerminkan ketidakpastian ekonomi yang kini menghantui kelas menengah, tulang punggung konsumsi yang menyumbang 55% PDB Indonesia. Namun, kebijakan pemerintah masih terpaku pada solusi konvensional: bansos dan subsidi yang sering kali tidak tepat sasaran.

Laporan Kompas.id menyoroti bahwa elite ekonomi masih mendominasi arah kebijakan, meninggalkan kelas menengah bawah di pinggir jurang. “Diskon e-commerce tak lagi menggoda,” kata Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, merujuk pada tren “no buy challenge” yang viral di kalangan milenial.

Pembuat kebijakan juga dihadapkan pada tantangan struktural. Investasi di sektor padat karya, seperti manufaktur dan pariwisata, masih minim, padahal sektor ini bisa menyerap tenaga kerja dan mendorong daya beli.

Impor beras 2,5 juta ton per tahun (Kementerian Pertanian, 2024) dan lambatnya transisi energi terbarukan (13% dari kebutuhan nasional) menunjukkan kebijakan yang kurang antisipatif. Di platform X, netizen menyuarakan kekecewaan: “Rojali bukti pemerintah lupa kelas menengah!” tulis seorang pengguna.

Tanpa intervensi yang berani, Rojali bisa menjadi cerminan krisis yang lebih dalam: ketidakadilan sosial yang menggerus kepercayaan rakyat.

 

Mendengar Bisikan Rojali 

Saat lampu mal mulai redup dan pengunjung Rojali pulang dengan tangan kosong, pesan Ateng Hartono bergema: “Rojali adalah sinyal—jangan sampai kita terlambat membacanya.”

Bagi pembuat kebijakan, ini adalah momen untuk berhenti sejenak dan mendengarkan. Kebijakan yang hanya mengejar angka kemiskinan atau pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan ketahanan konsumsi hanya akan memperlebar jurang ketimpangan.

Diperlukan langkah konkret: memperkuat UMKM melalui akses kredit murah, menstabilkan harga kebutuhan pokok, dan memperluas jaring pengaman sosial untuk pekerja informal. Seperti Siti, ibu rumah tangga dari Bekasi yang hanya mampu membeli es krim Rp5.000 untuk anaknya, rakyat menanti kebijakan yang benar-benar memihak.

Rojali bukan sekadar fenomena, tetapi cerminan rakyat yang berjuang di tengah badai ekonomi. Pembuat kebijakan kini punya pilihan: terus berjalan dengan mata tertutup atau membuka telinga untuk mendengar bisikan keresahan. Di persimpangan ini, Rojali adalah ujian—akankah kebijakan menjadi penyelamat atau justru mempercepat kerapuhan?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

Berita Terbaru