Makanan yang Terbuang, Bangsa yang Rugi: Saatnya Indonesia Punya Kebijakan Anti Food Waste

- Penulis

Rabu, 23 Juli 2025 - 03:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Djourno.id – Indonesia adalah salah satu produsen limbah makanan terbesar di dunia. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa antara tahun 2000–2019, Indonesia membuang 23–48 juta ton makanan setiap tahunnya. Ironisnya, ini terjadi ketika jutaan warga masih mengalami kekurangan gizi dan akses pangan yang timpang.

Food loss dan food waste bukan sekadar masalah etika, tapi juga krisis kebijakan yang belum tertangani secara sistemik. Saatnya negara hadir, bukan hanya sebagai pengingat, tapi juga sebagai pemecah masalah.

 

Evaluasi: Kekosongan Regulasi dan Minimnya Intervensi

Saat ini, belum ada kerangka hukum yang spesifik mengatur pencegahan limbah makanan secara nasional. Padahal, kerugian ekonomi akibat food waste diperkirakan mencapai Rp 551 triliun per tahun—setara 4–5% dari PDB nasional.

Masalah ini tidak hanya terjadi di rumah tangga atau restoran, tetapi juga di rantai distribusi pangan, mulai dari pertanian, pergudangan, hingga pasar. Banyak hasil panen gagal masuk pasar karena standar kualitas yang kaku, logistik yang buruk, atau sistem informasi harga yang tidak efisien.

Sementara itu, gerakan masyarakat sipil seperti Foodbank of Indonesia atau Surplus Indonesia telah mulai menyumbangkan solusi alternatif—menyalurkan makanan surplus ke kelompok rentan. Tapi tanpa dukungan kebijakan, dampaknya masih terbatas.

 

Solusi: Saatnya Indonesia Punya “UU Anti Food Waste”

Untuk menjawab ini, Indonesia perlu merumuskan kebijakan nasional anti food waste, setidaknya dalam lima langkah strategis:

  1. Regulasi dan insentif: Mendorong lahirnya UU atau Perpres tentang pencegahan food loss dan food waste, serta memberi insentif bagi pelaku usaha yang menyalurkan surplus makanan ke bank pangan atau dapur umum.
  2. Ekosistem food donation: Mengembangkan sistem donasi makanan yang aman dan legal, dengan panduan higienitas yang jelas, seperti yang dilakukan oleh banyak negara Eropa.
  3. Digitalisasi rantai pasok: Mendorong pemanfaatan teknologi (AI dan IoT) untuk mengurangi food loss di pertanian dan logistik melalui sistem prediksi panen dan distribusi waktu nyata.
  4. Kurasi pasar dan kebijakan harga: Memberi ruang bagi produk “imperfect food” (bentuk tidak sempurna tapi layak konsumsi) untuk masuk pasar formal.
  5. Edukasi publik: Memasukkan literasi pangan berkelanjutan ke kurikulum sekolah dan kampanye sosial secara luas, dengan melibatkan Gen Z dan komunitas kreatif.
Baca Juga:  Dikenal Tapi Tak Dipahami: Citra Kepemimpinan Farhan-Erwin di Mata Warga Bandung

“Selama tidak ada regulasi, food waste akan terus dianggap urusan pribadi, bukan kebijakan publik,” ujar Gita Syahrani, pegiat lingkungan dan ketua Koalisi Ekonomi Membumi.

 

Belajar dari Negara Lain

Perancis adalah negara pertama yang melarang supermarket membuang makanan layak konsumsi. Korea Selatan menerapkan sistem tarif sampah berdasarkan berat, dan berhasil mengurangi food waste hingga 30%. Indonesia bisa belajar, lalu mengadaptasi.

 

Catatan Djourno:

Limbah makanan adalah wajah tak terlihat dari ketimpangan dan ketidakefisienan sistem pangan kita. Membangun kebijakan anti food waste bukan hanya soal menyelamatkan makanan, tapi juga menyelamatkan masa depan pangan, lingkungan, dan martabat sosial bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB