Jakarta, Djourno.id – Di gedung Kementerian Keuangan yang megah namun tak pernah benar-benar senyap dari gejolak politik dan ekonomi, seorang perempuan bekerja lebih dari sekadar sebagai pejabat negara. Ia menjadi penjaga akal sehat kebijakan fiskal, perisai kredibilitas anggaran, dan simbol keteguhan integritas. Namanya: Sri Mulyani Indrawati.
Ketika Indonesia berguncang karena krisis global 2008, lalu diguncang lagi oleh pandemi COVID-19, dan kini kembali menghadapi gelombang besar belanja negara di era politik populisme, satu hal tetap bertahan: suara jernih dan tegas dari seorang Menteri Keuangan yang tak pernah kehilangan kompas moralnya.
“Reformasi bukan pilihan. Ia adalah keharusan,” begitu kalimat yang berulang kali ia sampaikan, seolah menjadi mantra pribadi dalam melawan gelombang kompromi dan tekanan jangka pendek.
Anak Kampus, Ibu Anggaran
Lahir di Tanjungkarang, Lampung, pada 1962, Sri Mulyani tumbuh dalam tradisi intelektual keluarga Jawa. Ia menapaki dunia akademik lewat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, lalu mengukuhkan dirinya sebagai ekonom dunia lewat University of Illinois dan peran-peran penting di lembaga global seperti IMF dan Bank Dunia.
Namun langkah kembalinya ke tanah air sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah momen penting yang membuat namanya tak hanya tercatat dalam jurnal ekonomi, tapi dalam sejarah kenegaraan.
Ia dikenal sebagai pemimpin yang mengedepankan tata kelola anggaran berbasis kinerja, menata birokrasi DJP dan DJBC, serta memangkas ratusan rekening liar di berbagai kementerian dan lembaga. Dalam periode 2005–2010, ia adalah simbol keberanian menolak titipan proyek politik dan melawan korupsi dalam anggaran.
“Dia tidak hanya membersihkan dapur, tapi membangun ulang sistem keuangan negara,” kata Chatib Basri, ekonom yang mengenalnya dekat.
Dihantam, Tapi Tidak Tumbang
Sri Mulyani bukan tanpa luka. Saat memutuskan untuk menolak pembayaran talangan pada Bank Century yang kontroversial, ia menjadi sasaran serangan politik. Hingga akhirnya mundur dari jabatan Menteri Keuangan dan memilih menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia — jabatan prestisius yang jarang dicapai oleh ekonom dari negara berkembang.
Namun sejarah menulis babak lain. Pada 2016, ia kembali dipanggil oleh Presiden Joko Widodo untuk kembali menjabat Menteri Keuangan. Sejak saat itu, ia menghadapi tantangan yang lebih pelik: defisit fiskal, pandemi global, tekanan belanja sosial, dan upaya berkelanjutan untuk mendorong keadilan pajak.
Ia meluncurkan Automatic Exchange of Information, mendorong reformasi pajak melalui UU HPP, dan mengawal konsolidasi anggaran dengan kehati-hatian yang ekstrem — meski seringkali dituding tidak populis.
Dalam era banjir insentif dan dana bansos, Sri Mulyani berdiri sebagai penyaring: memastikan bahwa belanja bukan sekadar respons politik, tapi instrumen pembangunan berkelanjutan.
Menjaga Marwah Kebijakan
Dunia birokrasi mengenalnya sebagai pemimpin yang sulit ditaklukkan. Ia tidak pandai bersandiwara politik, bahkan terkesan terlalu terus terang dalam menyampaikan pandangan. Tapi justru di situlah kekuatannya.
Sri Mulyani tahu satu hal: jika fiskal ambruk, negara kehilangan fondasi. Dan di tengah euforia belanja atau proyek-proyek mercusuar yang sering didorong elite, ia tetap teguh menjaga prinsip-prinsip fiskal berkelanjutan.
Banyak yang menyebutnya sebagai “ibu negara fiskal”. Tapi sejatinya, ia adalah anak kandung republik yang tak pernah berhenti menjaga logika kebijakan di tengah bisingnya gelombang kekuasaan.
Inspirasi Bagi Djourno
Djourno menyaksikan bagaimana tokoh seperti Sri Mulyani tak hanya mengurus angka, tetapi menjaga martabat kebijakan. Ia memberi inspirasi tentang arti integritas, tentang bagaimana kekuasaan tak harus dirayakan dengan popularitas, tetapi dengan ketekunan, kejelasan akal sehat, dan keberanian memilih jalan yang sunyi.
Bagi Djourno, Sri Mulyani adalah cermin dari semangat kebijakan publik yang berbasis ilmu, akal sehat, dan keberanian moral. Ia adalah tokoh yang tak hanya layak diberitakan, tapi juga diteladani.