Jakarta, Djourno.id — Pemerintah terus mengakselerasi transformasi bantuan sosial (bansos) ke sistem digital sebagai bagian dari reformasi perlindungan sosial. Digitalisasi bansos dinilai dapat mendorong transparansi, efisiensi, dan ketepatan sasaran penerima manfaat. Namun, di tengah meningkatnya semangat tersebut, sejumlah tantangan masih menghambat efektivitas implementasinya.
Mulai Agustus 2025, pemerintah akan mulai menguji coba Digital Public Infrastructure (DPI) untuk menyalurkan bansos berbasis digital, mencakup integrasi data identitas, sistem pembayaran elektronik, dan pertukaran data antar lembaga.
“Digitalisasi ini bagian dari reformasi besar agar bansos lebih tepat sasaran, transparan, dan cepat,” ujar Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam pernyataannya, Kamis (18/7).
Namun, di balik optimisme tersebut, masih terdapat fakta di lapangan yang menunjukkan ketimpangan. Di wilayah seperti Papua dan Papua Barat, bansos masih disalurkan secara manual melalui PT Pos karena keterbatasan infrastruktur digital dan layanan perbankan.
Masalah Infrastruktur dan Akses
Meskipun data menunjukkan bahwa lebih dari 204 juta penduduk Indonesia sudah menggunakan internet, kenyataannya, banyak desa dan wilayah pedalaman belum memiliki konektivitas yang memadai.
“Tidak semua penerima bansos punya akses ke ATM, e-wallet, atau bahkan sinyal yang stabil. Infrastruktur non-tunai belum menjangkau semua wilayah,” ungkap Yulia Sari, peneliti dari Lembaga Sosial Digital Desa Indonesia.
Literasi Digital Masih Rendah
Tantangan lainnya datang dari masyarakat itu sendiri. Banyak Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang belum akrab dengan teknologi digital. Mulai dari kesulitan membuka rekening bank, menggunakan e-wallet, hingga tidak memahami cara mengakses aplikasi bansos berbasis QR Code atau OTP.
“Waktu ada bansos digital masuk, ibu saya bingung. Disuruh daftar lewat HP, tapi kami tidak punya aplikasi dompet digital,” kata Darto, warga Kabupaten Lebak, Banten.
Ketepatan Sasaran Masih Dipertanyakan
Ketua Satgas Pengentasan Kemiskinan, Luhut Binsar Pandjaitan, sebelumnya menyampaikan bahwa dari total anggaran bansos nasional yang mencapai Rp 500 triliun, hanya 50% yang benar-benar sampai ke penerima manfaat yang tepat. Hal ini disebabkan oleh data ganda, data tidak valid, dan lemahnya verifikasi lapangan.
Pemerintah tengah mengembangkan sistem Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk memperkuat validitas dan integrasi data antar lembaga. Proses ini diharapkan mampu memperbaiki akurasi penyaluran bansos dalam beberapa tahun ke depan.
Harapan dan Rekomendasi
Pengamat kebijakan sosial dari UI, Dr. Ridho A. Izzati, menilai digitalisasi bansos adalah langkah strategis, namun harus disertai dengan peningkatan literasi digital, pemerataan infrastruktur, serta perbaikan manajemen data.